Sabtu, 27 Desember 2008

Tulisan Mohammad Sobary

DUNIA KECIL DI DESAKU

Hubungan orang-orang di desa saya mulanya tak begitu
menarik, seperti tak mempunyai arti khusus. Di sana ada Kang
Jomono, petani gurem, yang tak fasih mengucapkan dua kalimat
sahadat ketika kawin dulu tapi sampai sekarang hidupnya ayem
dan rileks.

Ada juga Mbah Wali, juragan kayu yang makmur, sudah dua kali
pergi naik haji. Ilmu agamanya tak sedalam yang ia bayangkan
sendiri, tapi jelas ia santri fanatik.

Kemudian ada Den Joyo, pensiunan mantri kehutanan. Ia masih
trah darah biru. Gaya hidupnya masih ingin melanjutkan
tradisi kehidupan aristokrasi. Tak lazim di desa miskin di
Bantul, rumahnya berpagar tembok tinggi. Di bagian depan ada
gapura, sebuah tiruan kecil gaya bangunan kraton.

Sering Kang Jomono buruh pada Mbah Wali, mengangkut almari
yang baru jadi ke rumah pemesan yang jauh. Hasil serabutan
ini lumayan buat Yu Jiah, istrinya. Tapi Kang Jomono
menunjukkan gejala tak betah.

"Aku tak tahan didakwahi terus, Yah", katanya suatu hari. Ya
sudah. Yu Jiah manut saja. Terserah apa maunya Kang Jomono.

Kang Jomono, yang oleh Mbah Wali disebut abangan itu,
sebetulnya bukan anti agama. Jauh di dasar hatinya ia pun
Islam. Sering ia mengatakan, rak mung mergo dereng nindakke,
hanya karena belum menjalankan (syariah Islam); khas
ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf.

Dibanding Mbah Wali dan Den Joyo, Kang Jomono hanya
setingkat punakawan. Orang bisa menyuruh-nyuruh, dan mudah
menertawakannya.

Dan seperti layaknya punakawan, ia sering jenaka
menertawakan diri sendiri atau orang lain. Ia pun bisa
sinis. Pandai ngekik balik bila mau. Tentu saja, semua itu
terutama bila tak langsung berhadapan.

Umum, contohnya, memanggil haji tua itu Mbah Wali. Kang
Jomono enak saja memanggil "kajine": harfiah berarti
hajinya. Terasa di sini sinisme yang tandas.

Bentuk hubungan pun jelas jadinya: kecuali kerja sama,
seperti lazimnya di desa, antagonisme pun nampak tajam. Saya
mengamati baik-baik. Ternyata, mereka mewakili tiga varian
penting: abangan, santri, priyayi, sebagaimana dirumuskan
dalam The Relig1on of Java oleh Clifford Geertz yang masyhur
itu.

Sebagai santri Mbah Wali berpegang pada ajaran, bayar
buruh-buruhmu sebelum keringat mereka mengering. Dan
buruh-buruh itu, termasuk Kang Jomono, senang dengan
ketepatan Mbah Wali membayar.

Haji tua yang nama sebenarnya Walidin itu mempunyai dua
macam pantangan: pantang menunda pembayaran buruh, pantang
orang meminjam uang kepadanya.

Sulit disangkal, Mbah Wali memang murah dalam berbagai hal.
Murah senyum. Murah nasihat. Dan bila sedang memperlihatkan
kehajiannya, di atas kendaraan pun orang yang baru
dikenalnya didakwahi juga. Tapi bila urusannya menyangkut
uang, tua-tua masih getol ngotot. Ini bisa dimengerti,
karena Mbah Wali pedagang. Kepada Tuhan pun pada dasarnya ia
bersikap dagang.

Pernah ketika Yu Jiah keguguran, Kang Jomono bermaksud
meminjam uang buat membelikan Yu Jiah jamu sehat. Apa kata
Mbah Wali? Sebagus-bagusnya harta ialah hasil cucuran
keringat, bukan pinjaman.

Kang Jomono memendam semacam rasa kecewa. Makin berani saja
jadinya ia menyebut kajine, atau memberi ejekan baru kaum
nggoiril, diambil dari ghairil... dalam surat al-Fatihah.

Jamaah masjid jengkel mendengar ejekan itu. Tapi Mbah Wali
bisa toleran. Soalnya sering ia memaki Jomono si "kapir"
(kafir).

Ketegangan memuncak suatu hari ketika dengan sewot Mbah Wali
menegur: "No, kamu ini kok tidak sopan to No".

"Kenapa to Mbah"?

"Lha merokok di depan orang puasa itu apa kamu kira?
Gethuk"?

"Yang puasa rak bulan to Mbah, bukan saya".

"O ..., lha yo dasar si kapir, wong abangan. Tahu artinya
kapir? Kapiran, celaka. E, ala No ..., No. Mbok ingat, kelak
akan mati. Mati belum tentu nunggu tua Iho No."

Kang Jomono mangkel. Tapi ia tak lalu patah. Ada saja
jawabnya.

"Lha sampeyan bisa begitu rak karena dompet sampeyan penuh
duit. Coba sampeyan miskin seperti saya. Belum tentu jadi
nggoiril."

Mbah Wali diam. Kang Jomono dianggap neranyak, melunjak
berlebihan.

Den Joyo pun orang kaya. Sawahnya luas. Ia juga butuh buruh
untuk menggarap sawah. Ia sendiri tak pernah memegang
cangkul. Sekarang, sejak pensiun, kesibukan utamanya
mengurus perkutut. Kadang-kadang menghadiri pertemuan
kelompok kebatinan.

Sejak kecewa dengan Mbah Wali, Kang Jomono pindah menjadi
buruh Den Joyo. Ia betah di sana. Kecuali bisa minum teh
manis dan makan sekenyangnya, bayarannya pun bagus. Ia
bahkan boleh mengambil bayaran di muka, baru kemudian
bekerja.

Den Joyo memang baik. Ia selalu sedia memberikan pertolongan
siapa pun yang memerlukannya. Sifat begitu memang yang
diharapkan dari orang kaya oleh orang macam Kang Jomono.
Sebagai imbalan, mereka yang miskin "membayar" kemurahan itu
dengan penghormatan yang tulus, bukan basa-basi.

Rupanya benar kata James Scott, orang kaya diakui sah
kekayaannya hanya bila ia murah dan dermawan kepada yang
miskin.

Anehnya, kemurahan Den Joyo dikritik Mbah Wali sebagai tak
mendidik, hanya menimbulkan ketergantungan dan membikin
orang macam Kang Jomono tambah malas.

Den Joyo pura-pura tak mendengar kritik itu. Ia tahu, Mbah
Wali sedang berusaha menutupi sifat pelitnya.

Meskipun begitu hubungan tetap baik. Waktu Den Joyo sakit
Mbah Wali datang membawa ramuan obat.

Sakit Den Joyo sembuh. Tapi sakit yang lain, sakit hati,
muncul ketika Mbah Wali menasihati: Den, sakit ini akan
hilang selamanya bila Den Joyo mau salat. Sebaiknya kita
salat sebelum disalatkan.

Den Joyo tersinggung berat. Tapi ia tak memberikan langsung
reaksinya, kecuali "ya, ya, Mbah Wali," dan dalam hati
menggerutu: "apa hanya seorang haji yang punya Tuhan?"

Ketika Mbah Wali hajatan, semua diundang kenduri. Den Joyo
tak mau hadir. Ia malas ketemu Mbah Wali. Dan diplomasi pun
sementara putus.

1965, peristiwa G 30 S meletus. Tatanan mendadak dijungkir-
balikkan. Ketakutan masal merayap dari rumah ke rumah
tanpa mengetuk pintu. Banyak orang diciduk. Setidaknya buat
diminta KODIM menjelaskan siapa dia.

Dalam ketakutan yang mencekam waktu itu, orang butuh
definisi diri yang jelas. Terutama orang macam Kang Jomono,
abangan, yang disejalurkan dengan PKI.

Masjid pun tiba-tiba penuh. Kang Jomono nampak di antara
jamaah. Dan dengan pici hitam yang dibeli di Sanden itu
identitas pun kini jelas: Muslim.

Kang Sejo, Kang Katir, Kang Suji, Kang Parmin, Lik Renggo
yang dulu BTI, Yu Senik yang Gerwani dan Kami yang aktif di
Lekra, semua bagai terbius mantra gaib, tunduk mendengar
khotbah-khotbah Mbah Wali.

Ada semacam perasaan menang dalam diri haji tua itu. Dan
perasaan itu sering diperlihatkan pada Kang Jomono. Tapi
Kang Jomono tak peduli. Hidupnya yang miskin lebih berat
ketimbang soal "kalah" dan "menang". Ia kini berprinsip:
hidup ini sudah susah, jadi jangan ditambah susah lagi.

---------------
Mohammad Sobary, Media Indonesia, Rabu 19 April 1989

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda